Alvaro Morata, salah satu penyerang yang paling terkenal di dunia juga pernah mengalami tekanan akibat olok-olokan para penggemar.
Pada Piala Eropa 2020, Alvaro Morata sempat beberapa kali dianggap menjadi dalang dari kurang tajamnya daya serang Timnas Spanyol. Alhasil, Ia mendapat banyak sekali kritikan dari para penggemar.

(Alvaro Morata, penyerang Atletico Madrid dan Timnas Spanyol)
Menurut Morata, apa yang Ia tunjukkan di lapangan memang pantas untuk dikritik. Namun, beberapa kali lontaran kritik itu sudah melewati batas. Sampai-sampai istri dan anak Morata juga dilibatkan dan diancam untuk dibunuh.
Meski sudah dibela oleh rekan dan pelatihnya sendiri, Alvaro Morata tetap memilih untuk berbicara langsung ke media terkait masalah ini. Ia mengaku, akibat dari ancaman-ancaman ini adalah Ia mengalami gangguan tidur.
Bisa dibayangkan bagaimana rasa takut yang datang tatkala istri dan anak terkena ancaman pembunuhan karena ulah kita sendiri, walaupun sama sekali tidak masuk akal.
Alvaro Morata juga sempat mengaku pernah rutin mengonsultasikan masalah mentalnya ke psikolog saat masih berseragam Chelsea. Kala itu, Ia menyadari bahwa permainan buruknya dikarenakan kondisi mental yang tidak stabil.

(Alvaro Morata saat memperkuat Chelsea)
Alvaro Morata juga menyebut depresi merupakan penyakit yang butuh disembuhkan, sama halnya dengan patah engkel. Kasus tekanan mental yang berujung pada keputusasaan pernah beberapa kali terjadi di dunia sepakbola.
Salah satu penyerang paling andal dari Skotlandia, Hughie Ferguson, memutuskan untuk bunuh diri setelah merasa kariernya mulai meredup. Dalam 14 musim berkarir di dunia profesional, setengahnya ia lalui sebagai pencetak gol terbanyak.
Motherwell dan Cardiff City menjadi klub yang pernah merasakan derasnya keran gol Ferguson. Namun nahas, di klub ketiganya pada level senior, Dundee United, Ferguson gagal mempersembahkan yang terbaik bagi klubnya.
Dari 17 laga yang dijalani, Ia hanya mampu menyetak 2 gol. Sungguh berbanding terbalik dari raihan gol di dua klub sebelumnya. Usut punya usut, ternyata ia mengalami masalah pada kakinya yang membuatnya sukar untuk berlari.
Hal ini juga memengaruhi kelihaiannya dalam mengolah si kulit bundar, diperparah mulai didepaknya Ia dari posisi tim utama. Rentetan nasib apes ini membuat Ferguson mengalami depresi dan insomnia. Akhirnya, pada tanggal 8 Januari 1930, Ia ditemukan tewas bunuh diri di Dens park, Skotlandia.
Selain Ferguson, Ernest King, eks-pelatih dari klub West Ham United juga mengalami depresi setelah reputasi dan kariernya kian menuju ke arah negatif. Ernest mengakhiri hidupnya di umur ke-59.
Dua belas tahun yang lalu, seorang kiper dari Jerman yang bernama Robert Enke juga mengakhiri hidupnya dengan cara yang menyedihkan. Ia bunuh diri di umur yang masih terbilang produktif untuk seorang kiper yakni 32 tahun.

(Robert Enke, mantan kiper Barcelona dan Timnas Jerman)
Alasannya melakukan ini diperkirakan karena depresi yang sudah ia alami selama 6 tahun. Ia pun dikabarkan sedang menjalani perawatan oleh psikiater saat itu. Kalau yang lebih pop, Gabriel Batistuta, juga pernah dilanda stres. Pasca pensiun, ia mengalami cedera parah hingga meminta agar kakinya diamputasi saja. Permintaan itu disinyalir muncul saking Ia tak kuasa menahan rasa sakit. Namun, kini keadaan Batistuta berangsur membaik jika dilihat dari unggahannya di-Instagram.