Masyarakat mulai dari kelas “borjuis” hingga kelas “proletar” yang acap nongkrong di kafe hingga level warung kopi, punya bahan omongan yang lebih menyenangkan. Bahan pembicaraan optimistis mereka tentang timnas – tak melulu ‘ngomongin’ aksi demo, kasus Ahok, sampai terorisme.
Namun perlahan optimisme kita terkikis saat sebuah gol ‘hoki’ Siroch Chattong muncul hanya dengan “modal dengkul”. Saat jeda, setiap dari kita berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa Tim Garuda mampu comeback seperti yang terjadi di Pakansari.
Namun baru tiga menit babak kedua bergulir, pemain Thailand yang sama mencetak gol indah yang gagal diselamatkan Kurnia Meiga. Papan skor pun berubah 2-0 seiring dengan gemuruh riuh seisi Stadion Rajamangala yang didominasi suporter tuan rumah.
Lagi dalam hati setiap manusia Indonesia berusaha keras meyakinkan diri bahwa timnas bisa bangkit, atau setidaknya mencetak satu gol demi memperpanjang “napas”. Sayang, hingga peluit panjang berbunyi dari wasit asal Uni Emirat Arab, skor bergeming 2-0.
Tim Gajah Putih pun kembali keluar sebagai juara Piala AFF kesekian kalinya dengan kemenangan agregat 3-2. Indonesia pun harus puas kelima kalinya hanya jadi runner-up.
Selama 5-10 detik, hampir semua dari kita yang menyaksikannya lewat layar kaca hanya bisa terdiam menatap kosong pada layar TV. Minuman apapun yang kita teguk terasa pahit.
Yang tersisa, segelintir dari kita keluar kata celaan dari mulutnya. Tapi tak sedikit dari kita yang tetap bangga. Bangga karena merasa segenap tim Garuda sudah mengeluarkan kemampuan terbaiknya.