ENTAH memang belum beruntung, belum pantas atau belum layak menang. Setiap dari kita bebas menunjuk mana yang lebih pas untuk menilai kekalahan tim nasional (timnas) Indonesia di Piala AFF 2016.
Perjalanan Tim Garuda sejak fase awal di turnamen si kulit bundar se-ASEAN (Asia Tenggara) ini bak “Cinderella Story”. Kisahnya pun nyaris sempurna meski sayangnya harus kita akui Thailand tampil lebih baik.
Mungkin sebagian dari kita yang hanya bisa menonton lewat layar kaca, entah di RCTI, iNews TV atau streaming Okezone pada Sabtu 17 Desember, berandai-andai pada banyak hal. Hal yang bisa menghindari kekalahan 0-2 dari Thailand pada final leg kedua di Stadion Rajamangala, Bangkok.
Andai kemelut bola ‘tek-tok’ di babak pertama tak berbuah gol pembuka Thailand yang terbilang ‘hoki’, andai Andik Vermansyah dan Irfan Bachdim tak cedera, andai pada leg pertama bisa menang lebih dari 2-1, atau andai pelatih Alfred Riedl bisa lebih bebas memanggil lebih dari dua pemain di tiap klub.
Ah, itu hanya pengandaian yang tentunya takkan bisa memutar waktu. Toh kita tetap harus mengelus dada dan bersabar lagi, karena penantian dua dekade (20 tahun) masih harus diperpanjang.
Padahal, kita sudah sempat berharap tinggi. Bahkan mungkin beberapa dari kita sudah siap “berpesta”, mengingat begitu banyak spot-spot nonton bareng (nobar) di seluruh pelosok negeri.
Berharap karena pada leg pertama di Stadion Pakansari, Cibinong, Boaz Solossa dkk sukses menang duluan 2-1 dari tim yang di fase grup pernah menghajar kita 4-2. Pembicaraan tentang timnas mulai merebak dan jadi “pengalihan isu” terbaik dari segala hal yang berbau politik nasional nan tengah panas belakangan ini.