Apalagi, akibat flare itu, pertandingan sempat terhenti sebanyak dua kali. Tak hanya flare, petasan juga terus dinyalakan saat pertandingan berlangsung.
“Ketika ada orang yang memulai menyalakan flare, dia itu orang yang egois. Dia datang untuk dirinya sendiri dan dia tidak memikirkan orang lain, tidak memikirkan klub dan pemain,” tutur Bojan Hodak.
“Pertandingan terhenti dua kali. Ritme kami terhenti, ketika kami sedang bermain bagus, ketika bisa menciptakan peluang, lalu mereka menghentikan pertandingan. Ini tidak lucu,” lanjutnya.
“Mengenai hal lain, federasi sepakbola di mana pun di dunia, mereka tentu berusaha untuk bisa membuat anak atau keluarga datang ke stadion tanpa terjadi apa-apa. Jadi fans harus diedukasi, mereka harus berpikir, seperti saat saya menjadi pelatih tim nasional Malaysia U-19, ketika di Sidoarjo, kami menunggu selama satu jam karena ada pelemparan botol. Jadi harus diedukasi, tapi tidak boleh kehilangan fans karena stadion akan kosong,” jelas Bojan Hodak.
“Sepakbola di Eropa masalahnya adalah mereka tidak punya fans sehingga stadionnya kosong. Jadi di sini ada fans, tapi mereka harus diedukasi bagaimana mendukung tim dengan benar, mendukung klub dengan benar,” sambungnya.
Bojan memastikan Bobotoh sudah jauh lebih baik pada musim ini. Bahkan, Bobotoh terus mendukung timnya di setiap pertandingan yang dijalani.
“Dan hanya ada satu grup pemuda yang tidak mengikuti aturan dan mereka harus diedukasi. Saya tidak mau menyalahkan sehingga stadionnya kosong, tidak ada yang mau bermain di stadion yang kosong dan kami bermain untuk fans. Mereka hanya perlu tahu soal bagaimana berperilaku,” tutupnya.
(Djanti Virantika)