Mengoreksi Mimpi ke Piala Dunia

, Jurnalis
Senin 13 Oktober 2014 12:04 WIB
Timnas U-19. (Foto: Antara/Andika Wahyu)
Share :

JAKARTA - Antusiasme tinggi terhadap Timnas U-19 jatuh ke titik terendah setelah Garuda Jaya takluk 0-1 dari Timnas Australia U-19 di partai kedua penyisihan Grup B Piala Asia U-19, pada Minggu (12/10/2014) lalu. Sebelumnya Ilham Udin dkk ditundukan Uzbekistan 3-1 di laga perdana penyisihan Grup B pada Jumat (10/10/2014). Antusiasme dan optimisme masyarakat pecinta bola kepada Timnas U-19 mulai tumbuh subur saat Evan Dimas dkk menggebrak sepakbola nasional pada 2013 lalu, ketika juara Piala AFF U-19 dan mengalahkan Korea Selatan di laga terakhir Grup G babak kualifikasi Pra Piala Asia U-19. Apalagi pelatih Indra Sjafri ketika itu sudah mencanangkan anak asuhnya untuk bisa menembus Piala Dunia U-20 di Selandia Baru pada 2015 mendatang, caranya dengan masuk empat besar Piala Asia U-19 2014.

Bermimpi atau bercita-cita, boleh saja, tidak ada yang salah. Tapi apakah mimpi untuk memiliki atau mencapai sesuatu sudah diringi dengan doa, membangun sistem untuk jangka panjang, perencanaan matang, menghitung berbagai risiko yang bisa muncul dan bekerja dengan jujur, disiplin, konsisten serta cerdas? Jika tidak, maka mimpi itu cuma menjadi angan-angan. Hanya ada di khayalan dan tidak akan pernah menjadi kenyataan. Karena berdoa saja tidak cukup tanpa disertai dengan sistem yang mapan dan bekerja dengan sungguh-sungguh.

Itulah yang sering dialami oleh pecinta sepakbola Indonesia. Sejak saya mulai mendukung Timnas Indonesia di pertengahan 1990-an, optimisme menjadi juara selalu digaungkan oleh media, pengurus PSSI dan pelatih Timnas sebelum pasukan Merah Putih terjun ke berbagai palagan kejuaraan. Kenyataannya? selalu nihil. Timnas Indonesia sering 'hampir' menjadi juara, di tingkat Asia Tenggara. Bagaimana dengan level Asia? Timnas Indonesia, baik senior maupun junior kelompok umur, sering menjadi bulan-bulanan tim lawan, terutama yang sepakbolanya sudah maju.

Apa kekurangan mendasar dari sepakbola Indonesia sehingga sulit sekali menjadi juara di Asia Tenggara? Jawabannya sederhana dan sebenarnya klasik, pembinaan pemain muda dan kompetisi yang benar tidak ada di negeri ini.

Ibarat rumah, sepakbola Indonesia tidak memiliki fondasi yang kokoh. Atapnya besar dan mewah, tapi fondasinya dari papan triplek, makanya akan selalu roboh, tidak kuat menahan beban dan tekanan.

Itu yang benar-benar terjadi di sepakbola Indonesia. Mayoritas pemain lokal yang berlaga di Liga Super Indonesia dan yang memperkuat Timnas Indonesia di berbagai level bukan berasal dari pembinaan akademi pemain muda yang profesional dan modern. Sudah begitu, liganya pun - yang katanya profesional -, juga belum mencerminkan nilai-nilai sportif dan kejujuran. Masih ada pemain yang memukul wasit atau dugaan pengaturan skor untuk menguntungkan pihak tertentu.

Makanya jangan heran kalau permainan Timnas begitu-begitu saja selama hampir 20 tahun terakhir, meski sudah sering ganti pelatih, ganti pemain dan ganti formasi. Salah satunya seperti muncul permainan kasar dari pemain Timnas jika mendapat tekanan tim lawan atau memilih "jalan pintas" untuk mencetak gol dengan umpan lambung dari bek ke penyerang, berulang kali. Seperti yang saya bilang di paragraf lima, fondasi sepakbola Indonesia sangat rapuh, tidak kuat menahan tekanan pertandingan, sorotan media dan harapan masyarakat.

Tapi jangan menyalahkan pemain dengan segala bentuk permainan Timnas yang jelek. Atau menjadikan pelatih sebagai kambing hitam yang tidak bisa menghadirkan prestasi dengan segera. Karena meski pelatih dengan rekor bagus lalu melatih Timnas yang tidak memiliki dasar dan wawasan bermain sepakbola yang benar, kegagalan sudah hampir menjadi kepastian. Lihat saja pencapaian pelatih sekaliber Peter Withe yang bisa membawa Thailand juara Piala Tiger (sekarang Piala AFF), tapi gagal bersama Indonesia.

Membangun prestasi tidak bisa seperti merebus mi instan. PSSI tidak bisa lagi merekrut atau mengandalkan pemain yang diambil dari hasil turnamen kampung atau tarkam untuk memperkuat Timnas. PSSI sudah harus memulai membangun akademi pembinaan pemain muda yang modern dan berjenjang di beberapa kelompok usia. Jika bingung dengan konsep dan kurikulumnya, PSSI bisa mengadopsi sistem pembinaan pemain muda seperti yang ada di Spanyol, Jerman, Belanda atau Jepang.

Tak selesai hanya di sektor akademi pemain, sistem kompetisi juga harus disusun dan dikerjakan dengan profesional. Bagaimana membentuk liga junior dari kelompok umur 13 tahun, 15 tahun, 17 tahun dan seterusnya. Lalu klub-klub yang akan berlaga di liga harus "dipaksa" untuk menjadi profesional, modern dan memenuhi kebutuhan Timnas agar bisa bersaing. Klub harus menjadi lembaga bisnis, mencari keuntungan dari kegiatannya bermain bola. Klub juga harus membuat akademi pemain muda di berbagai jenjang usia untuk diikutsertakan di liga-liga junior PSSI. Klub juga mesti mengadopsi pola latihan dan permainan yang diinginkan PSSI, seperti yang dilakukan DFB (Federasi Sepakbola Jerman), agar para pemain terbiasa dengan beberapa skema permainan di Timnas.

Tidak selesai di situ, PSSI juga harus membangun sumber daya manusia yang berkecimpung di sepakbola. Mulai dari pelatih, pelatih kiper, pelatih fisik, dokter, fisioterapis, analis statistik sampai tukang cuci kaus kaki pemain. Tujuannya agar ada standar yang rata dan bermutu untuk menyesuaikan dengan persaingan sepakbola di Asia.

Berpikir dan bekerja selama 10 tahun untuk membangun sepakbola nasional belum tentu membawa hasil bagus. Lihat bagaimana Jerman butuh waktu 14 tahun untuk menjadi juara dunia semenjak merevolusi pembinaan pemain mudanya, manajemen kompetisi dan pengelolaan klub profesionalnya yang dimulai usai gagal di Euro 2000 silam. Makanya Indonesia butuh pengurus PSSI yang konsisten dan mau berkorban. Pengurus yang mau mencarikan investor dan menjaga kepercayaan penanam modal, bukan oknum-oknum yang mencari untung dari pembinaan sepakbola.

Tapi harus diakui kalau PSSI tidak bisa bekerja sendiri. Ada keterbatasan yang dimiliki PSSI untuk membenahi dan membangun sepakbola Indonesia. Bukan hanya soal anggaran, tapi juga kebijakan yang bisa menyentuh secara menyeluruh. Peran aktif pemerintah untuk menggerakan berbagai perusahaan besar agar menjadi "orangtua asuh" bagi pembinaan sepakbola bisa menjadi solusi jangka pendek dan menengah. Jangka panjangnya bisa dilakukan, salah satunya dengan membangun infrastruktur olahraga yang modern dan tersebar luas serta memulai pembinaan sepakbola di usia Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Umum (SMU) dengan mewajibkan semua murid berlatih olahraga yang disukainya dan dibimbing oleh guru atau pelatih yang kemampuannya sudah berstandar modern. Perguruan Tinggi bisa didorong untuk melakukan berbagai penelitian di bidang sains, kedokteran dan gizi olahraga untuk ikut membantu mencarikan solusi pembinaan secara ilmiah.

Apa yang dilakukan Indra Sjafri dengan blusukan dan merekrut banyak pemain dari berbagai kampung di desa patut menjadi contoh bagaimana kesabaran, kerja keras dan determinasi bisa membawa hasil. Tapi akan lebih baik lagi jika Indra Sjafri dan pelatih Timnas lainnya blusukan ke berbagai sekolah sepakbola (SSB) dan kompetisi di berbagai tingkatan yang sudah memiliki sistem yang profesional dan modern.

(Fajar Anugrah Putra)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Bola lainnya