MANCHESTER – Keputusan mengejutkan datang dari salah satu talenta muda berbakat yang memiliki darah Indonesia, Gabriel Han Willhoft-King. Pemain yang pernah dilabeli sebagai prospek paling menjanjikan di Tottenham Hotspur ini memilih untuk menolak tawaran perpanjangan kontrak dari Manchester City dan meninggalkan jalur sepak bola profesional.
Gabriel Han Willhoft-King kini memilih fokus pada pendidikan di Universitas Oxford, mengungkapkan bahwa lingkungan sepak bola membuatnya merasa bosan dan kurang terstimulasi secara intelektual.
Gabriel Han Willhoft-King, yang pada September 2022 disebut oleh media asal Inggris, The Guardian sebagai scholar tahun pertama paling menjanjikan di Spurs, awalnya melihat Amerika Serikat sebagai solusi untuk menggabungkan pendidikan dan mimpi profesional. Saat merasa tidak nyaman di Tottenham, agensi yang membantunya menawarkan kesempatan beasiswa olahraga di AS. UCLA dan Harvard menunjukkan minat yang besar, dengan harapan ia bisa berakhir sebagai MLS Draft Pick.
Willhoft-King sempat menolak tawaran kontrak dari Spurs dan menerima tempat di UCLA untuk mulai kuliah pada Januari 2025. Namun, dua kejadian tak terduga mengubah jalannya. Pertama, ia menandatangani kontrak enam bulan dengan FC Cincinnati 2 (MLS Next Pro) sebagai transisi menuju UCLA, tetapi hanya bertahan beberapa minggu. Kedua, datang tawaran kontrak dari Manchester City selama satu tahun dengan opsi perpanjangan tahun kedua, sebuah tawaran yang tak bisa ia tolak.
"Pada saat itu, rencana saya masih ingin menjadi pemain profesional dan saya merasa akan selalu menyesal jika tidak bergabung dengan Man City," ujar Gabriel Han Willhoft-King, dikutip dari The Guardian, Kamis (20/11/2025).
"Saya akan selalu bertanya: 'Bagaimana jika saya mengambil kesempatan itu?' Sekarang saya sudah mencoba dan saya bisa menjauh dari sepak bola dengan tahu saya sudah memberikan yang terbaik. Itu jauh lebih melegakan bagi saya,” tambahnya.
Pengalaman Willhoft-King di Manchester City, meski singkat, memberinya pandangan langsung terhadap level elite. Ia sempat merasa kagum (starstruck) ketika ia dan rekan-rekan U-21 dipanggil Pep Guardiola untuk sesi latihan tim utama, yang biasanya meniru pola pressing lawan yang akan dihadapi.
"Tottenham adalah tim yang bagus, tetapi Man City adalah level yang berbeda. (Kevin) De Bruyne, (Erling) Haaland... mereka adalah pemain terbaik di dunia. Namun, Anda juga menyadari bahwa mereka adalah orang normal. Mereka bercanda, mereka saling menegur jika membuat kesalahan. Dan melihat Pep... dia sangat, sangat bersemangat. Energi yang dia bawa, gerakan tangan, menaikkan suaranya. Itu sungguh luar biasa,” sambung Willhoft-King.
Namun, kekaguman itu memudar. Ia merasa lelah dengan rutinatas sebagai pesepakbola.
"Anehnya, latihan bersama tim utama menjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Karena Anda hanya akan pressing. Kami berlarian mengejar bola seperti anjing selama setengah jam, 60 menit. Itu bukan pengalaman yang menyenangkan, terutama ketika Anda mencoba menekan De Bruyne atau (Ilkay) Gundogan atau (Phil) Foden. Anda tidak bisa mendekati mereka, sehingga perasaan tidak ingin melakukan ini mengalahkan rasa kagum,” tambahnya.
Willhoft-King mengakui disorientasi (kondisi kebingungan mental atau hilang arah) adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Ia merasa bosan, meskipun Man City sebenarnya bersedia memberinya perpanjangan kontrak.
“Saya tidak menikmatinya. Saya sering bosan. Anda berlatih, pulang dan tidak benar-benar melakukan apa-apa. Jika dibandingkan dengan sekarang... saya kesulitan mencari jam kosong dalam sehari. Saya sedang belajar, pergi keluar dengan teman-teman, bermain untuk tim utama universitas, juga tim kampus saya,” lanjut Willhoft-King.
Faktor utama mundurnya adalah kebutuhan intelektual jangka panjang. Willhoft-King melihat pendidikan sebagai platform jangka panjang.
"Saya selalu merasa kurang terstimulasi di sepak bola. Jangan salah, saya masih menyukainya. Tapi saya selalu merasa saya bisa melakukan lebih banyak. Saya menyia-nyiakan waktu seharian. Saya membutuhkan sesuatu yang berbeda dan Oxford membuat saya bersemangat; orang-orangnya juga,” lanjut Willhoft-King.
“Cedera adalah faktor besar, tapi itu jawaban yang mudah. Saya merasa membutuhkan sesuatu yang sedikit lebih... terutama secara intelektual, yang terdengar agak sok. Tapi, ya," tambahnya.
"Misalnya saya memiliki karier di League One atau Championship... Anda menghasilkan uang yang baik. Tapi seberapa besar saya akan menikmatinya? Saya tidak yakin. Ditambah lagi, skenario terbaik—Anda akan bermain selama 10, 15 tahun dan setelah itu, apa? Saya pikir kuliah akan memberikan platform bagi saya untuk melakukan sesuatu setidaknya lebih lama dari 10 hingga 15 tahun ke depan,” tutup Willhoft-King.
(Rivan Nasri Rachman)