"Kita boleh stadion dibongkar, tapi perhatikan kita dulu. Terus untuk pelaporan-pelaporan model B yang masih stagnan, sampai saat ini kita berusaha seperti ini, seperti ini. Kita tidak minta apa-apa, kita hanya minta keadilan," tegas Isa, keluarga korban asal Pagelaran, Kabupaten Malang.
Devi Athok, orangtua korban tragedi Kanjuruhan juga menegaskan bila proses hukum perlu ditegakkan dan diselesaikan sampai tuntas. Apalagi hilangnya nyawa Aremania akibat tembakan gas air mata dan kerusuhan, bukan terjadi pertama kalinya. Pria warga Bululawang, Kabupaten Malang ini sedikit mundur ke belakang peristiwa serupa pernah terjadi pada April 2018 silam.
"Jangan dianggap rendah warga Malang ini, 2018 sudah dibunuh orang, 2022 dibunuh 135, jangan dibunuh lagi. Masak orang Malang nyawanya begitu murah, jangan terjadi lagi. Kita orang Malang, jangan sampai terjadi lagi, untuk mengingat kita bahwa warga Malang itu dibunuh," ujar Devi Athok, yang terus mencari keadilan bagi kedua anaknya.
Devi berujar, seharusnya proses rekonstruksi dilakukan di Stadion Kanjuruhan Malang, sebagaimana lokasi kejadian bukan dilaksanakan di Lapangan Mapolda Jawa Timur, sebagaimana proses rekonstruksi yang sudah dilaksanakan. Apalagi kini pemerintah pusat telah menyiapkan anggaran dana sebesar Rp 1 Triliun dari APBN, dan tengah proses pelelangan fisik bangunan.
"(Stadion) Kanjuruhan kok mau direnovasi, ini kan TKP, mohon jangan dibongkar, kalau mau dibongkar, monggo tapi selesaikan dulu, kita mencari keadilan. Tolong gate 13 dibuat monumen untuk mengingat anak cucu kita. Saya enggak menuntut apa-apa, hanya keadilan," tegasnya.
Di sisi lain, Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Malang Titik Yunarni menyatakan, ia sebagai komisi legislatif yang membidangi pembangunan infrastruktur hanya menampung dan menjembatani aspirasi dari keluarga korban. Secara sikap pribadi dan mewakili legislatif, Tutik mendukung upaya penundaan renovasi Stadion Kanjuruhan, sampai para keluarga korban mendapat keadilan hukum.