
Laga kedua melawan Timnas Irak pada 12 Oktober 2025 dini hari WIB, cuma seperti formalitas. Menang belum tentu lolos, apalagi seri dan kalah. Semua sudah bersikap realistis dan hanya mencoba menghibur diri, kali-kali menang. Kali-kali keajaiban itu ada.
Ternyata tidak. Timnas Indonesia kalah 0-1 dari Irak. Skor yang sebetulnya peningkatan setelah di tiga pertemuan sebelumnya, kalah 1-5, 0-2, dan 1-3. Kalah, tapi enggak telak-telak amat dan bisa memberi perlawanan.
Adegan berikutnya sudah seperti disinggung di awal. Thom Haye menangis tersedu-sedu. Dia teringat, ini adalah satu-satunya kesempatan mentas di panggung akbar Piala Dunia karena usianya sudah 30 tahun. Edisi berikutnya pada 2030, belum tentu bisa ikut.
Kegagalan memang pahit. Menyedihkan. Terbangun dari mimpi buruk lalu menghadapi kenyataan yang tidak kalah menyesakkan. Tidur yang sungguh tidak enak, bukan?
Tapi tidak apa-apa. Mimpi buruk kadang harus dilewati. Lucid dream kali ini tidak memberi stimulus yang baik buat otak. Itu kalau dianggap sebagai sebuah pukulan telak dan mentalnya tidak terbangun.
PSSI tentu harus belajar dari kenyataan pahit. Mimpi yang sudah dirajut sejak 2023, hancur begitu saja. Keputusan-keputusan strategis tak boleh diambil hanya berdasarkan emosi atau pertimbangan sesaat.
Semua harus dipikirkan masak-masak, termasuk bagaimana membangun sebuah ekosistem sepakbola yang mendukung mimpi besar. Kualifikasi Piala Dunia 2030 baru akan digelar paling cepat 2027. Masih ada waktu berbenah, termasuk memilih pelatih baru.
(Wikanto Arungbudoyo)