Setelah dicapai kesepakatan nilai nominalnya, maka pengaturan skor pertandingan pun dilakukan. Hanya saja pengaturan skor itu dilakukan secara cantik tidak terang-terangan seperti yang dilakukan PSS Sleman dan PSIS.
"Setelah kita jemput PP, kita cari wasitnya dan kita cukup bilang, 'bang poin ya' maka wasitpun sudah paham. Dan biaya terbesar itu ada di wasit. Terus terang waktu itu kita butuh dana Rp 50 juta untuk bayar listrik dan air. Dan terjadilah kesepakatan dengan lawan, saat itu kita kalah 11 - 3 dari klub semarang,"paparnya.
Permainan "sepakbola gajah" tidak hanya terjadi di pertandingan sepak bola profesional seperti yang terjadi di laga PSS dan PSIS. Namun, hal tersebut juga terjadi di tingkat pertandingan kampung (Tarkam).
Tentu saja tarif untuk wasitnya lebih rendah dibandingkan dengan wasit pertandingan profesional. Namun meski bayarannya rendah, wasit mendapatkan dua bayaran. Bayaran dari tim yang ingin menang dan bayaran dari para penjudi yang menaruh taruhannya.
"Ini yang akan kita desak pada Menpora untuk segera melakukan revolusi mental. Kalau mau sepakbola nasional maju,"pungkasnya.
(Fetra Hariandja)