Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Mengakarnya Budaya "Sepakbola Gajah" di Indonesia

Bramantyo , Jurnalis-Kamis, 30 Oktober 2014 |19:40 WIB
Mengakarnya Budaya
PSS dan PSIS bukan satu-satunya laga "sepakbola gajah" (Foto: Antara)
A
A
A

Bambang mengakui apa yang diutarakan tersebut tak terlepas dari pengalaman pihaknya di Persika Karanganyar.

Tak adanya lagi sumber APBD, mengharuskan klub yang dananya minim untuk mencari tambahaan dari luar klub untuk membayar gaji para pemain, perjalanan tandang klub, hingga operasional klub seperti membayar listrik hingga air bersih.

Mengharuskan klubnya melakukan permainan "sepakbola gajah". Apalagi saat ini, klub sepak bola itu seperti sebuah perusahaan yang dituntut untuk mencari pendapatan sendiri tanpa menggantungkan kucuran dana dari APBD.

"Waktu dulu untuk kartu merah atau memukul wasit, harus membayar denda sebesar Rp 10 juta. Sedangkan untuk kartu kuning harus membayar Rp 3,5 juta. Tidak tahu sekarang berapa. Dan itu semua uang dari mana,"ujar Bambang yang mengaku duduk di PSSI Karanganyar sejak tahun 2006 - 2010.

Secara terang-terangan, Bambang mengakui kalau klub Persika sendiri sering melakukan "sepakbola gajah". Hal itu dilakukan, karena dari hitung-hitungan nilai, klubnya tak memiliki peluang melaju ke babak selanjutnya. Sedangkan, dari klub lawan sangat berambisi untuk maju.

Begitu pun sebaliknya, Persika berambisi maju dan klub lawan tidak berambis maju, maka diaturlah skor permainan. Bahkan transaksi pengaturan nilai pertandingan dengan wasit utama itu dilakukan di dalam kamar hotel.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita bola lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement