FOKUS: Getir Garuda di Rajamangala

Randy Wirayudha, Jurnalis
Senin 19 Desember 2016 06:04 WIB
Indonesia harus puas untuk kesekian kalinya hanya jadi runner-up Piala AFF (Foto: Antara)
Share :

ENTAH memang belum beruntung, belum pantas atau belum layak menang. Setiap dari kita bebas menunjuk mana yang lebih pas untuk menilai kekalahan tim nasional (timnas) Indonesia di Piala AFF 2016.

Perjalanan Tim Garuda sejak fase awal di turnamen si kulit bundar se-ASEAN (Asia Tenggara) ini bak “Cinderella Story”. Kisahnya pun nyaris sempurna meski sayangnya harus kita akui Thailand tampil lebih baik.

Mungkin sebagian dari kita yang hanya bisa menonton lewat layar kaca, entah di RCTI, iNews TV atau streaming Okezone pada Sabtu 17 Desember, berandai-andai pada banyak hal. Hal yang bisa menghindari kekalahan 0-2 dari Thailand pada final leg kedua di Stadion Rajamangala, Bangkok.

Andai kemelut bola ‘tek-tok’ di babak pertama tak berbuah gol pembuka Thailand yang terbilang ‘hoki’, andai Andik Vermansyah dan Irfan Bachdim tak cedera, andai pada leg pertama bisa menang lebih dari 2-1, atau andai pelatih Alfred Riedl bisa lebih bebas memanggil lebih dari dua pemain di tiap klub.

Ah, itu hanya pengandaian yang tentunya takkan bisa memutar waktu. Toh kita tetap harus mengelus dada dan bersabar lagi, karena penantian dua dekade (20 tahun) masih harus diperpanjang.

Padahal, kita sudah sempat berharap tinggi. Bahkan mungkin beberapa dari kita sudah siap “berpesta”, mengingat begitu banyak spot-spot nonton bareng (nobar) di seluruh pelosok negeri.

Berharap karena pada leg pertama di Stadion Pakansari, Cibinong, Boaz Solossa dkk sukses menang duluan 2-1 dari tim yang di fase grup pernah menghajar kita 4-2. Pembicaraan tentang timnas mulai merebak dan jadi “pengalihan isu” terbaik dari segala hal yang berbau politik nasional nan tengah panas belakangan ini.

Masyarakat mulai dari kelas “borjuis” hingga kelas “proletar” yang acap nongkrong di kafe hingga level warung kopi, punya bahan omongan yang lebih menyenangkan. Bahan pembicaraan optimistis mereka tentang timnas – tak melulu ‘ngomongin’ aksi demo, kasus Ahok, sampai terorisme.

Namun perlahan optimisme kita terkikis saat sebuah gol ‘hoki’ Siroch Chattong muncul hanya dengan “modal dengkul”. Saat jeda, setiap dari kita berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa Tim Garuda mampu comeback seperti yang terjadi di Pakansari.

Namun baru tiga menit babak kedua bergulir, pemain Thailand yang sama mencetak gol indah yang gagal diselamatkan Kurnia Meiga. Papan skor pun berubah 2-0 seiring dengan gemuruh riuh seisi Stadion Rajamangala yang didominasi suporter tuan rumah.

Lagi dalam hati setiap manusia Indonesia berusaha keras meyakinkan diri bahwa timnas bisa bangkit, atau setidaknya mencetak satu gol demi memperpanjang “napas”. Sayang, hingga peluit panjang berbunyi dari wasit asal Uni Emirat Arab, skor bergeming 2-0.

Tim Gajah Putih pun kembali keluar sebagai juara Piala AFF kesekian kalinya dengan kemenangan agregat 3-2. Indonesia pun harus puas kelima kalinya hanya jadi runner-up.

Selama 5-10 detik, hampir semua dari kita yang menyaksikannya lewat layar kaca hanya bisa terdiam menatap kosong pada layar TV. Minuman apapun yang kita teguk terasa pahit.

Yang tersisa, segelintir dari kita keluar kata celaan dari mulutnya. Tapi tak sedikit dari kita yang tetap bangga. Bangga karena merasa segenap tim Garuda sudah mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Memang, target awal yang dibebankan pada mereka hanyalah lolos ke semifinal. Persiapan pun terbilang mepet. Belum lagi pelatih Alfred Riedl hanya bisa memilih dua pemain dari tiap klub demi membentuk sebuah tim yang belum lama lepas dari sanksi FIFA.

 Jika dibilang kita tak pantas menang, tidak juga. Tapi jika dikatakan Thailand lebih layak menang, bisa dibilang begitu. Tim asuhan Kiatisuk Senamuang itu sudah terbentuk sejak beberapa tahun ke belakang dan karenanya, jangan dibandingkan dengan persiapan timnas kita yang cuma 3-4 bulan.

Selain kebanggaan, kita boleh berharap bahwa ke depannya hasil timnas bisa lebih baik. Tengok saja komposisi tim yang rata-rata berusia 25 tahun. Pemain yang tergolong tua hanya dua dengan usia 30 tahun, yakni Boaz Salossa dan Beny Wahyudi.

Tahun ini kita memang belum bisa mengukir sejarah baru dan belum bisa menghadiahkan trofi ke Ibu Pertiwi. Namun kalau ingin tahu dan belum banyak orang sadar, adalah dampaknya.

Dampak persatuan dan nasionalisme yang bergejolak lagi melihat perjuangan timnas. Ini pula yang disuarakan Stefano Lilipaly, salah satu pemain timnas yang berasal dari naturalisasi dan mengaku bangga jadi orang Indonesia via akun Instagram-nya.

Saya mohon maaf kepada semuanya karena kami belum bisa membawa pulang piala itu, tapi saya pikir piala itu tidak terlalu penting karena piala hanyalah sebuah simbol. Yang terpenting adalah cara kita berjuang, kita semua bekerjasama demi negeri kita tercinta INDONESIA.

Kita berhasil menyatukan seluruh masyarakat Indonesia bersama dan ini hanya terjadi di sepakbola dan saya sangat bangga akan hal tersebut. Kita tidak butuh piala AFF dan semacamnya, yang kita butuhkan adalah kecintaan dan perjuangan sampai mati untuk membuat negeri lebih baik lagi dalam segala hal.

Kita semua bersatu disini dan kita semua berdiri bersama. Saya merasa sangat bangga menjadi orang Indonesia. Kita tunjukan pada semua siapa kita (INDONESIA)!!! One day we will bring this Trophy Home,”

Kini saatnya pula kita bersikap ksatria. Bersikap bangga pada perjuangan timnas meski kalah dan bersikap tabah dengan mengakui Thailand lebih baik dari kita.

Kita pada hari ini yang dua pekan jelang pergantian tahun, mesti kembali pada rutinitas masing-masing tanpa euforia juara. Pun demikian tetap harus merasa bangga pada perjuangan mereka terlepas hasil getir di Rajamangala.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Bola lainnya