TURIN – Diskriminatif. Satu kata disiratkan Andrea Pirlo jika sudah bicara soal trofi individu dengan gengsi tertinggi – Ballon d’Or. Pemilihan pemenang trofi bola emas itu dianggap “pandang bulu”, selalu segregatif.
Para pemain macam Xavi Hernández, Andrés Iniesta atau Pirlo, takkan pernah bisa memenangi voting pemilihan raja sepakbola dunia itu.
Sang pemenang, selalu datang dari para pemain yang selalu jadi pembeda dan terutama punya rekening “gendut” dengan kumpulan saldo gol di dalamnya.
Sementara Xavi, Iniesta maupun Pirlo seperti yang dialaminya pada pemilihan Ballon d’Or 2007, harus puas hanya jadi finalis – sementara kala itu rekan setimnya semasa di AC Milan, Ricardo Kaká yang membawa pulang trofi.
“Hadiah (Ballon d’Or) itu akan selalu jatuh pada pemain yang mencetak banyak gol, yang membuat perbedaan. Kaká melakukannya di masa jayanya, begitupun yang dilakukan Cristiano (Ronaldo) dan (Lionel) Messi sekarang,” cetus Pirlo.
“Jika Xavi atau Iniesta tak pernah memenangkannya, maka saya pikir, saya pun juga tak layak memenangi Ballon d’Or,” imbuhnya kepada ABC, Selasa (17/2/2015).
Untuk saat ini, trofi prestisius itu mungkin masih dalam dominasi kedua megabintang Barcelona dan Real Madrid di atas. Tapi Pirlo punya harapan, di mana seorang gelandang murni seperti rekan mudanya di Juventus – Paul Pogba, bisa muncul sebagai pemenang Ballon d’Or berikutnya.
“Paul Pogba bisa jadi masa depan buat Juventus. Dia sudah punya segalanya: fisik, teknik dan sorot mata yang tajam terhadap gawang. Dia sempurna dan bisa mengukir era baru,” tutup playmaker veteran berusia 35 tahun itu.
(Randy Wirayudha)