“Sedangkan kita tahu, dalam regulasi FIFA, gas air mata tidak boleh dibawa ke dalam stadion. Ini harus menjadi evaluasi kenapa petugas keamanan menembakkan gas air mata ke arah penonton,” tambahnya.
“Kedua, koordinasi antara panpel dan polisi. Karena gini, seharusnya kan dalam pengamanan panpel sudah tahu bagaimana iklim sepakbola di Indonesia. Seharusnya mereka sudah memprediksi, tetapi pengamanannya kenapa malah gelap mata menembakkan gas air mata,” sambungnya.
Lebih lanjut, Effendy juga menyoroti peran penting federasi untuk memberikan edukasi kepada pihak keamanan. Selain itu, panitia pelaksana (panpel) juga harus transparan soal jumlah tiket yang terjual, agar pengamanan sesuai dengan jumlah penonton.

“Ketiga, yang harus kita soroti adalah dari federasi sendiri mestinya sudah memberikan aturan-aturan atau batasan dalam penanganan kerusuhan di stadion. Itu mesti selalu disosialisasikan,” ujar Effendy.
“Kemudian soal tiket ya, terkadang panpel itu berorientasi mencari keuntungan. Kalau tiket laku 40 ribu, suka dibilang 30 ribu, supaya jumlah pengamanannya hemat. Ini sering terjadi di sepakbola kita,” tambahnya.
“Kita tentu berduka atas tragedi kanjuruhan, tragedi untuk ke sekian kalinya,” tutup Effendy.
(Rivan Nasri Rachman)