“Saat itu, saya menyuruh sepupu saya untuk tenang. Ketika langit-langit dan dinding mulai menimpa kami, kami mulai melarikan diri menaiki tangga. Kami hanya punya waktu untuk mengambil paspor dan telepon kami, saya bahkan tidak tahu bagaimana saya bisa memikirkan hal itu,” tambahnya.
“Kami cukup beruntung untuk keluar dari gedung sebelum semuanya runtuh. Itu adalah hari ketika semuanya benar-benar berubah. Ada banyak kematian. Jika Anda memberi tahu saya itu seminggu sebelumnya, saya akan memberi tahu Anda bahwa itu tidak mungkin,” lanjut Soni.
Soni mengaku sebagai muslim yang taat. Niatnya begadang menunggu sholat shubuh usai bermain sepakbola telah menyelamatkan nyawanya. Ia pun mengaku pasti akan meninggal jika saja memilih tidur ketika pulang dari bermain.
“Saya seorang Muslim dan saya sangat religius. Apa yang menyelamatkan saya adalah bahwa saya ingin menunggu sampai jam 6:40 pagi untuk mengucapkan doa pertama hari itu. Itu sebabnya saya tidak bisa tidur,” sambung Soni.
“Jadi saya berkata pada diri sendiri bahwa jika saya tidur, melihat bagaimana semuanya jatuh di rumah, saya pasti sudah mati. Itu bahkan pasti. Batu-batu (dari reruntuhan) yang jatuh sangat besar. Itu adalah bangunan 17 lantai, bayangkan. Jadi jika saya tidur, menurut saya akan mati,” tutup Soni.
(Rivan Nasri Rachman)