MELAYANG atau tidak gelar juara Piala Indonesia (dulu: Coppa) bagi juara bertahan Sriwijaya FC, tergantung dari loyal atau tidaknya para pemain bertarung membela kehormatan pelatih mereka Rahmad “RD” Darmawan. Tengah kompetisi masih bergulir, untuk urusan pekerjaan yang kontrak profesionalnya belum habis, manajemen PT Sriwijaya Optimis Mandiri (SOM) memutuskan RD diputus kontraknya per 7 Juli silam.
Empat musim bersama skuad Laskar Wong Kito, okezone pun memiliki memori bukan hanya bersama RD, melainkan juga dengan dua bekas asistennya, Syafruddin Fabanyo dan Satya Bagja.
Fabanyo kini meracik timnas putri. Sedang Bagja pelatih terbaik sebuah program kepelatihan berlisensi A dari Asian Football Confederation (AFC) sekarang dikau entah ada di mana.
Setidaknya dua kenangan yang membekas dari RD. Pertama kali berkenalan di Stadion Madya Bumi Sriwijaya, Jalan Kampus POM IX, Palembang. Ketika itu reportase “Tim Kacau, Send the Marine!” yang muncul di kanal sport okezone, diulurkan ke tangannya sebagai tanda mata. Sebagai imbalan, kita mengajak RD bertukar nomor ponsel.
Kedua, saat berbincang santai di tengah rumput stadion Jakabaring. Usai melatih Zah Rahan cs, pelatih Zah Rahan cs itu menawarkan copy hasil pelajarannya dari kamp kepelatihan di Jerman untuk memperkaya data bagi okezone. Mungkin maksudnya, supaya ada juga seorang reporter lapangan yang belajar lebih baik mengenali metode sepakbola. Tapi tawarannya harus ditampik sebab wartawan tidak diperkenankan menerima/meminta apapun dari narasumber.
Di kaca ingatan, melekat kesan bahwa RD pelatih yang baik. Ia memberi tiga gelar supremasi bagi SFC. Saat coba disentil tentang keburukan tampilnya pemain tertentu dalam skuadnya, RD pasti berdiplomasi secara protektif demi melindungi para pemainnya dari kecaman kesalahan bermain yang diumbar oleh reporter sepakbola. Pelatih berbekal intelektual seluwes itu jarang ditemui di mimbar sepakbola Indonesia.
Ada yang sekaliber dia, seperti Bambang Nurdiansyah, lebih konyol saat konferensi lewat lemparan komentar lucu. Yang tertatih-tatih juga ada, macam M Basri karena sudah tua. Lebih senior sedikit dari RD dan Banur, tapi lebih muda dari Basri, yang agak tegang bila membicarakan skor, yakni Gusnul Yakin.
Sewaktu Persib dilatih Jaya Hartono, ada dua bentuk temperamen menarik yang dapat disaksikan dalam konferensi pers. Bila mantan bek kiri PSSI yang melambungkan tendangan gol ke gawang Uni Emirat Arab dalam Asian Games 1986, cenderung meledak-ledak menyoroti hasil pertandingan, maka mantan bek kanan klub Armed Force Malaysia itu lebih kalem.
“Saya ingat waktu masih jadi pemain, bila dihadang bang Jaya, saya akan menggiring bola ke samping saja atau memberikan bola kepada rekan yang lain,” komentar Darmawan tentang Jaya Hartono. Dia memang tak mau mengecoh kawannya itu, sahabat satu skuadnya di PSSI, tatkala mereka berhasil menembus semifinal AG’86.
Melawan Arema Indonesia, Minggu (1/8/2010), di Stadion Manahan, Solo, dalam final Piala Indonesia 2010. Di sana akan terbentuk arkeologi 2x45 menit peninggalan terakhir Rahmad mengasah kebolehan taktiknya untuk Kayamba dkk.
(Maafkanlah, kita belum punya memori tentang Robert Albert. Bukan tidak mau mengarang tentang dia.)
Jadi juara-tidaknya nanti, SFC tetap manggung di kancah AFC Cup 2011. Dengan catatan bila regulasi tidak lagi dikutak-katik lewat rumus matematis kompromi ala PT BLI. Rumus kompromi seperti ini, misalnya 1#2 (satu tidak sama dengan dua): SFC belum tentu ke ajang turnamen kelas dua se-Asia tahun depan. Sebab otoritas itu kadang-kadang ada di tangan panitia bukan mengacu konsideran yang tercantum dalam regulasi. Bila terjadi, apa boleh buat, untuk mengajukan protes tentu ada pula biayanya.
(Achmad Firdaus)