GELARAN AQUA Danone Nations Cup (ADNC) menjadi ajang mewujudkan mimpi bagi anak-anak Indonesia untuk berkancah di persepakbolaan tingkat dunia. Hal itu pun sangat dirasakan betul oleh As-Syifa Marhaen Oeais Al-Qarnie’o, seorang anak daerah yang akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya berlaga di turnamen sepakbola tingkat dunia untuk usia 10-12 tahun.
Bersama klub kebanggaannya yakni ASIOP, Syifa –sapaan akrabnya– berhak memiliki tiket tampil ke kejuaraan final dunia Danone Nations Cup (DNC) 2019 di Barcelona, Oktober mendatang. Tiket itu ia peroleh setelah timnya keluar sebagai pemenang AQDNC pada 2018.
Akan tetapi, perjalanan tidak mudah harus dilalui Syifa untuk mewujudkan mimpi tersebut. Lahir di Lubuk Pakam, Sumatera Utara, pada 25 Februari 2006, Syifa adalah salah satu anak daerah yang memiliki mimpi besar sebagai pesepakbola dunia. Ia kemudian tumbuh besar di sebuah daerah bernama Kabupaten Serdang Bedagai, sebuah kabupaten yang baru saja dimekarkan dari Deli Serdang pada 2003.
Bagi Syifa, sepakbola bukanlah hal asing. Sebab ia lahir dari keluarga yang sudah sangat mengenal dunia sepakbola. Ayahnya yang bernama Chairil Syafwan adalah pesepakbola lokal yang membuat Syifa terinspirasi mengikuti jejak sang ayah. Tak ada paksaan apa pun dari sang ayah agar Syifa menjadi pemain sepakbola, tetapi ia memilih jalan hidupnya sendiri.
“Bapak tidak mengarahkan saya, dia memang pemain bola, tetapi tidak memaksa saya. Saya dibebaskan mau pilih apa, dan saya bilang mau jadi pemain bola. Karena melihat bapak pemain bola dan saya hidup di lingkungan sepakbola, jadi otomatis saya dekat dengan sepakbola,” ucap bocah yang saat ini duduk di kelas 3 SMP itu saat ditemui Tim Okezone.
Pada usia lima tahun, ia harus kehilangan sang ibu yang telah lebih dulu dipanggil sang Kuasa. Tetapi, Syifa tak patah semangat. Ia masih memiliki motivasi besar untuk meneruskan jejak sang ayah sebagai pesepakbola.
Perjuangan besar harus dilalui Syifa. Tentu tidaklah mudah menjadi anak daerah yang harus serba-terbatas untuk mengembangkan potensinya. Biaya besar hingga ratusan ribu pun harus dikeluarkan Chairil agar sang anak bisa berlatih di tempat yang layak dan dengan fasilitas mumpuni.
Ia pun beberapa kali harus keluar dari Serdang Bedagai menuju Asahan agar bisa mendapatkan pelatihan yang baik, dengan jarak yang ditempuh tidaklah dekat. Terhitung ada tujuh kali dalam sebulan, Syifa harus pergi ke luar dari kampungnya menuju Asahan. Padahal saat itu kondisi ekonomi keluarga juga sedang tak memungkinkan membiayai Syifa yang harus pulang pergi hanya untuk latihan. Tetapi, jika hanya mengandalkan latihan di Serdang Bedagai, tidaklah cukup. Akhirnya berbagai cara pun dilakukan Chairil agar bisa mewujudkan impian sang anak.
Meski pada akhirnya berhasil dilewati dengan perjuangan berat, tetapi perjalanan itu belumlah usai. Syifa masih bergumul hijrah ke ibu kota untuk kembali mengasah bakat terpendamnya. Ia kemudian dilirik oleh Aulia Siregar, yang juga merupakan rekanan lama dari sang ayah dan kala itu ia menjadi seorang pelatih klub sepakbola di Jakarta bernama ASIOP. Berdasarkan pengakuan Aulia, ia tertarik merekrut Syifa bukan karena kenalan sang ayah. Tetapi pemilihan Syifa murni karena anak tersebut memiliki bakat dan kemampuan baik yang tengah dibutuhkan ASIOP kala itu.
“Yang pasti (saya memilih Syifa karena) kemampuan dia dan memang kebutuhan kita untuk memiliki pendamping striker yang selama ini masih buntu. Dengan adanya Syifa, kesempatan untuk kita berprestasi semakin terbuka. Dia anaknya memang pemain yang bertalenta, jadi kita memang membutuhkan dia,” ucap Aulia.
Mulai dari situ, permainan Syifa menunjukkan perkembangan. Bahkan pada 2018, ia akhirnya mampu mengantarkan ASIOP keluar sebagai pemenang AQDNC. Ia dan rekan-rekannya pun berhak menuju ke final tingkat dunia untuk membawa nama Indonesia.
Sebuah kerja keras yang akhirnya membuahkan hasil. Walaupun ini hanya permulaan, tetapi akhirnya mimpi anak daerah itu mulai terwujud bahkan hingga menembus tingkat dunia. Tetapi hal itu tak lantas membuat Syifa merasa jemawa.
“Perasaannya senang dan bangga. Tapi bangganya setengah-setengah takut dibilang sombong, kalau terlalu bangga dibilang jemawa jadi sepantasnya saja. Karena kebanyakan ada juga yang macam enggak senang. Ada juga yang bahagia karena akhirnya ada pemain Medan yang bisa mewakili. Karena selama 14 tahun danone itu belum ada orang Medan yang bisa mewakili Indonesia,” ucap kakak tertua dari empat bersaudara itu.
Syifa juga berharap awal mula kariernya ini bisa membuat dirinya melangkah jauh. Mimpi besarnya kini adalah bisa merumput di Eropa. Salah satu cita-cita yang sangat ingin ia capai adalah bisa bermain di akademi Barcelona.
“Tetapi ini langkah awal, kalau ini bisa dilewati, jalan ke depannya lebih mudah. Inginnya paling tidak dilirik pemandu bakat di Eropa sama tim-tim besar. Inginnya bisa ke Barcelona karena akademinya terkenal atau enggak usah tim-tim besarlah, tim-tim kecil di Eropa saja sudah senang,” ujar Syifa.
Kini dengan kesempatan yang ia miliki, Syifa berharap bisa mengikuti jejak sang idolanya yakni George Weah. Seorang pesepakbola yang berasal dari negara tidak terpandang yakni Liberia di Afrika, tetapi mampu berkancah ke level dunia hingga merebut trofi Ballon d’Or pada 1995.
“Salah satu idola saya adalah George Weah yang berasal dari negara miskin yakni Liberia. Dia bisa dapat Ballon d’Or dan menjadi pemain Afrika pertama yang dapat Ballon d’Or dan bahkan sekarang dia menjadi Presiden (Liberia),” lanjutnya.
Tetapi, tugas Syifa belumlah usai. Ia masih harus merebut mimpi tersebut lewat perjalanan yang sangat panjang. Tak perlu terlalu jauh, kini tugas Syifa dan rekan-rekannya adalah untuk membanggakan Indonesia di Danone Nations Cup 2019. Ia pun berhasrat untuk membuktikan pada dunia bahwa sepakbola Indonesia tidak bisa dipandang remeh.
“Saya ingin tunjukkan bahwa bintang sepakbola itu enggak selalu lahir dari negara-negara sepakbola yang besar. Saya ingin menunjukkan Indonesia juga bisa menjadi juara dunia dan menunjukkan kemampuan kami pada mereka semua,” tutup Syifa.
(Bagas Abdiel)